Bajo, suatu daerah yang terletak di pulau
terpencil di Halmahera Selatan. Beranjak
dari niat-niat tulus untuk dapat mengabdi dan sedikit berbagi ilmu dengan
masyarakat yang nan jauh disana. Niat besar ini tertumpahkan sudah ketika
melihat suatu daratan terpencil dan susah dijangkau. Bajo sangkuang.
Perjalanan kami terhitung satu minggu
perjalanan. Jalur darat, laut, dan udara telah dilalui. Berjam-jam menunggu
pesawat hingga menginap di bandara. Berjam-jam pula menunggu kapal untuk segera
beranjak dari pelabulan. Serta nuansa kekeluargaan yang didapat dari lamanya
perjalanan darat, membuat kami menjadi keluarga dadakan yang mau tidak mau
harus mengerti satu sama lain.
Morotai,
Maluku utara. Sebelum perjalanan menuju ke Ternate
Perlahan armada terakhir mengantarkan kami di
tempat tujuan. Dengan satu buat speedboad dari pemda, hanya butuh 15 menit
untuk dapat sampai di desa yang ditunggu-tunggu dari Pelabuhan Labuha, Pulau
Bacan. Perlahan kapal tersebut menepi memperlihatkan sederetan rumah-rumah yang
memanjang diatas laut mengikuti pola garis pantai. Indah. Menakjubkan. Bersatu
dengan alam. Itu yang kami fikirkan. Sangat berbeda dengan tempat kami berasal.
Disini, jalan rayapun tidak ada apalagi gedung-gedung bertingkat.
Akhirnya kami menginjakkan kaki di Deja Bajo,
kepulauan Botang Lomang Halmahera Selatan. Sambutan hangat dari warga terlihat
jelas di guratan wajah. Senyum lembut dan hangat menyambut kami dari jauh. Itulah
calon teman-teman baru kami yang akan membersamai selama 2 bulan kedepan.
Perlahan kami mulai mengenal kebiasaan
masyarakat Bajo. Salah satunya adalah Dusun Torosubang. Dusun Torosubang
terletak di sebelah timur Desa Bajo yang dihubungkan dengan jembatan papan. Jembatan
papan panjangnya kurang lebih 200 meter. Adik-adik nakal dan menggemaskan sudah
menjadi makanan kami sehari-hari. Nakal, liar, jiwa penasaran yang dipupuk dari
kecil membuat mereka berkembang menjadi anak yang cerdas secara alami.
Ikan. Ya ikan. Adalah menu favorit yang wajib
ada setiap harinya. Bagaimanan tidak? Hidup mereka berdampingan dengan laut.
Dibawah tempat tidurpun adalah laut. Mau tidak mau, mereka harus bersahabat
dengan laut dengan segala kekayaanya.
Jembatan
papan yang menghubungkan Bajo dan Torosubang
Ketika pagi menjelang, satu persatu kapal mulai kembali ke rumah. Namun, ada juga kapal-kapal penumpang yang siap mengantarkan penumpang ke Labuha hanya untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga.
Kapal-kapal
penumpang yang siap mengantarkan warga ke pasar Labuha
Tidak ada motor, tidak ada sepeda, tidak ada
mobil, apalagi bus dan truk. Semua transportasi adalah kapal. Ya kapal. Karena
mereka memang berteman dengan laut. Laut yang menghampar luas, yang setiap hari
dilihat ketika membuka jendela.
Dusun Torosubang berbeda dengan Bajo,
walaupun terletak didalam satu Desa. Dusun Torosubang sebagian masyarakatnya
terdiri dari suku makean sedangkan Bajo adalah murni dari Suku Bajo walaupun
tidak semuanya berasal dari Suku Bajo. Ada yang dari Bugis, Jawa dan lain
sebagainya.
Ketika Ramadhan tiba, terlihat jelas
perbedaan tingkah laku masyarakat. Dari yang awalnya tidak ada jamaah di
masjid, ketika ramadhan tiba menjadi banyak. Berbagai acara adatpun dilakukan. Seperti
acara soan. Soan adalah acara memperingati anak-anak yang baru bisa berpuasa
ramadhan satu bulan penuh. Acaranya dilaksanakan sebelum menjelang buka puasa. Jajanan-jajanan
di gantung didepan rumah di tandan-tandan pisang. Ketika maghrib menjelang,
anak-anak dan warga berebut dan merampas jajanan-jajanan tersebut. Adat ini
dilakukan agar anak-anak lain yang belum bisa berpuasa satu bulan penuh dapat termotovasi
untuk segera berpuasa satu bulan penuh. Sungguh makna yang luar biasa.
Sampai ketemu lagi, Bajo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar